Asap putih bergumpal-gumpal keluar dari mulut hitam Barok. Giginya yang kuning karena noda kopi sesekali terlihat ketika dia melempar senyum palsu kepada rekan-rekan kerjanya yang saat itu sedang istirahat jam makan siang bareng di warung depan kantornya. Barok terlihat lebih tua dari usianya yang baru tiga puluhan. Kerutan di dahinya terdapat tiga jalur yang penuh daki. Rambut yang ogah menempel di ubun-ubunnya sudah beruban. Barok hanya tersenyum dengan mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya ketika semua rekan-rekannya tertawa terpingkal-pingkal mendengar Ponadi menceritakan sesuatu yang lucu.
“Hahahaha…. Bisa aja kamu Pon. Bikin kita tertawa terus. Perut ini rasanya sampai kram. Hahahaha… ini.. hahaha… ini air mata juga sampai keluar. Lucu banget.” Sambil memegangi perutnya, salah satu rekan Barok tidak dapat menahan tawanya mendengar cerita lucu Ponadi.
“Eh Rok… kamu kenapa? Kok kayak enggak semangat gitu. Padahal kan hari ini kita gajian.” Tanya salah satu rekan Barok yang lain kepadanya.
“Hadeeeh, iya sech kita memang gajian. Tadi aku juga udah terima gaji dari bendahara. Tapi..” Barok melanjutkan menyedot rokoknya kuat-kuat untuk terakhir kalinya, dua detik kemudian dia buang puntung rokok ke jalan bersamaan dengan asap putih mengepul dan melayang-layang di udara dan membuat wajah lesu Barok semakin kabur dibalik asap rokoknya.
“Tapi percuma saja. Uang gajiku enggak pernah cukup. Seminggu lagi pasti uang gajiku udah ludes habis. Kebutuhan orang yang sudah berumah tangga memang jauh lebih banyak dari saat aku masih bujang dulu. Kalian tahu sendiri kan, biaya sekolah jaman sekarang itu mahal. Belum lagi, ibu-nya anak-anak itu kan hanya ibu rumah tangga, tapi enggak ada pandai-pandainya ngatur keuangan keluarga. Masak duit gajian enggak ada sisa sama sekali tiap bulan. Malah tekor. Makin ruwet aja neh hidup.”
Barok segera membayar sejumlah uang untuk makanan, minuman dan rokok yang ia nikmati. Lalu kembali ke dalam kantor. Rekan-rekannya menyusul dan membuntuti di belakangnya.
Barok kembali bekerja menyelesaikan tugas yang menumpuk. Hingga tidak terasa hari sudah malam. Bayangan dirinya nemplok di dinding karena sorot cahaya radiasi komputer di ruang kerjanya. Lalu siluet bayangan tubuh yang lain muncul dari belakangnya. Barok kaget. Matanya melotot. Mulutnya terbuka lebar dan berteriak kecil.
“Haaaa… Astaghfirullahaladzim. Hadeh, bikin kaget saja sampeyan Pak. Kayak pemain sulap aja tiba-tiba muncul di sebelah saya.” Sambil mengelus dadanya bermaksud menenangkan diri karena dikagetkan dengan kemunculan Satpam kantor yang tiba-tiba. Sosoknya tinggi besar seperti pegulat Smack Down. Kulitnya hitam mengkilat seperti di waxing. Kumisnya yang seperti potongan hambal membentang di atas bibirnya yang sedang menyeringai. Hanya giginya yang tanggal dua buah saja yang kelihatan saat dia menyapa Barok.
“Maaf Mas Barok, sudah bikin kaget. Lembur ya mas?”
“Siapa yang lembur Pak? Saya enggak ada niat lembur. Ini masih jam kerja kan?”
“Jam kerja sudah berakhir sejam yang lalu Mas. Karyawan kantor udah pulang semua. Ini saya lagi patrol keliling ruangan. Kok saya liat ruangan ini belum terkunci. Jadi saya mengendap masuk. Eeh, ternyata Mas Barok masih belum pulang.”
“Wadoh, gimana ini. Kerjaan saya masih banyak dan numpuk. Walaaah..!!” kedua tangan Barok mengusap-usap kepalanya yang botak di sektor depan.
“Ya selesaikan saja di sini Mas. Enggak apa-apa kok.”
“Wadoh, biar saya kerjakan di rumah aja Pak. Mungkin sekarang istri saya sudah menunggu saya di meja makan untuk makan malam. Saya tidak mau membuatnya menunggu lama. Saya juga harus mampir ke toko buku untuk membelikan anak saya buku cerita. Tunggu saja diluar sebentar Pak. Saya akan membereskan ruang kerja saya sebentar.”
“Oke Mas. Saya tunggu di luar ya.”
“Yo’i”
Sejenak, sapu tangan pemberian istrinya pada saat pacaran dulu melenyapkan dan mengusap kepenatan beserta semua minyak bercampur keringat berdebu di wajah dan lehernya. Jaket berlogo timnas sepak bola Indonesia yang dibelinya di pasar, segera dipakaikan ke tubuhnya yang masih terbalut kemeja yang basah dan bau kecut keringatnya.
“Pak, saya pulang duluan ya.”
“Oh, udah beres semua di dalam?”
“Sudah beres kok Pak. Ya udah dech Pak, saya pulang duluan. Assalaamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.Wr.Wb. Oke Mas Barok, hati-hati di jalan ya.”
Motor kreditan Barok yang belum lunas itu ia geber kencang. Dalam sekejap, Barok melesat dan hilang bersama kabut malam. Barok harus bergegas agar cepat sampai di toko buku sebelum toko bukunya tutup. Barok meliak-liuk dengan motornya melewati motor lain, mobil dan truk yang jalan beriringan sekaligus. Tidak sekali suara klakson dibunyikan karena ulah Barok. Suara mulut mencaci maki juga sempat diterima Barok, tapi yang dimaki cuek dan malah menarik stang gas penuh. Motornya makin kencang. Helm yang dipakai bergoncang karena angin yang menerpa. Ban roda motor sesaat tidak menempel di aspal.
Tiba-tiba seekor kucing menyeberang jalan tepat di depannya. Rem tangan dan kaki segera ditekan bersamaan. Ciiiit… ciiiit….ciiiitt… suara ban yang bergesekan dengan aspal mengagetkan kucing itu dan lari tunggang langgang. Barok berjuang keras mengendalikan kuda besinya yang seperti berjingkrak-jingkrak liar. Tubuh Barok ikut berlenggak-lenggok mengikuti gerakan motornya. Gerakan harmonis dengan motornya tidak diduga telah menyelamatkan dirinya karena Barok berhasil tetap menunggangi sadel motornya. Seketika itu juga Barok menghentikan motornya dan mematikan mesin, lalu melihat ke arah belakang. Jalanan tampak sepi dengan noda garis-garis hitam mirip jalur ular akibat gesekan ban motornya dengan aspal jalanan.
“Alhamdulillaaah Ya Allah, untung saja enggak sampai jatuh tersungkur di jalanan. Haduuuh, Alhamdulillah.” Sambil menghela nafas panjang, Barok mengelus dadanya yang masih berdegup kencang karena peristiwa itu.
Toko buku tinggal 5 menit perjalanan dari tempat Barok berhenti. Dengan jiwa masih shock, Barok mengendarai motor dengan lebih pelan. Sampai akhirnya tiba di tempat parkir areal toko buku. Segera setelah buku permintaan anaknya telah terbeli, Barok bergegas pulang. Dipikirannya selalu terbayang anak dan istri tercintanya yang mungkin saja sedang menantinya di rumah. Tapi begitu dia keluar dari toko buku dan pandangannya tertuju pada motornya….
“Lho, sialan..!! Aduuh, kenapa ini ban motor kok tiba-tiba kempes sech. Perasaan tadi enggak apa-apa. Mungkin kena paku kali ya. Tapi mataku enggak kelihatan pakunya. Gelap. Mana ada tambal ban malam-malam gini. Hadeeeh, tanggung. Dorong aja lah nech motor.”
Ban motor kempes. Barok memutuskan untuk mendorong motornya. Jika ban motor enggak kempes dan bisa dikendarai, hanya butuh waktu sepuluh menit lagi menuju rumahnya.
“Hhmm, sial bener. Kerjaan makin banyak, tapi gaji enggak naik-naik. Lalu tadi hampir nabrak kucing. Eeeh, sekarang malah ban kempes. Kapan ya nasib bisa berubah jadi mujur? Teman-teman di kantor kayaknya enggak punya masalah. Mereka selalu bahagia. Bahkan Si Ponadi bisa tuch bikin mereka tertawa-tawa berkat ceritanya. Bikin iri aja Si Ponadi.” Udara malam yang dingin ternyata tidak mampu menghentikan keringat yang mulai berkucuran dari badannya. Rasa pegal menjalar mulai dari kaki merayap ke punggung dan kedua lengannya. Tapi rasa sakitnya akan hilang bila nanti sampai di rumah. Istrinya akan memberikan pijatan terbaiknya agar pegal-pegal di badannya hilang. Begitulah yang ada di pikiran Barok. Bahkan rasa pegalnya seolah-olah hilang tatkala Barok sampai di depan pintu gerbang rumahnya.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di rumah. Hhmm… pasti udah pada tidur semua nech. Lampu dalam rumah mati semua.” Barok dengan sangat perlahan membuka pintu gerbang agar tidak berisik dan membangunkan orang rumah. Cara yang sama juga dilakukan saat membuka pintu rumah dengan menggunakan kunci serep yang selalu ia bawa-bawa.
Barok berjalan menuju kamar anaknya dan dengan perlahan membuka pintu kamar. Barok melihat di kasur itu anaknya tidur dengan pulas. Barok segera mencium kening anaknya sembari berkata, “Nak, maafkan ayah ya karena membuatmu menunggu lama. Ini buku yang kamu inginkan. Semoga kamu senang. Ayah sayang kamu nak. Selamat bobo’ ya nak. Semoga kamu mimpi indah.” Anak kecil itu hanya menggeliat sambil bergumam tidak jelas.
Krucuk..krucuk…krucuk… cacing di dalam perut Barok seperti berunjuk rasa dan mengoyak isi perutnya. Lapar yang akut memaksanya segera menggeledah ke ruang makan. Mungkin saja istrinya menyisihkan makanan untuknya.
“Lho, kok enggak ada makanan ya, apa mungkin ada di dapur.” Barok beranjak ke dapur dan siap bertarung dengan tikus, kecoa dan semut demi makan malamnya. Tapi Barok sekali lagi kecewa karena tidak menemukan makanan.
“Hadeeeh, sial bener. Perut lapar tapi enggak disiapkan makanan. Ya sudahlah, bobo’ aja. Mungkin rasa lapar, capek dan pegal-pegal bisa hilang.” Dengan langkah gontai dan muka masam menahan lapar Barok memutuskan untuk segera tidur. Kata-kata “sial” terus keluar dari mulutnya.
Pintu kamar ia buka perlahan supaya istrinya tidak terbangun. Tombol lampu yang nempel di dinding sebelah pintu itu ia tekan dengan jari tengahnya. Sungguh diluar dugaan. Apa yang ia pikirkan ternyata berbeda dengan apa yang ia lihat. Barok naik pitam. Selimut itu ia tarik kuat-kuat. Matanya melongo melihat dua orang yang telanjang bulat. Urat-urat di leher dan jidatnya mencuat ketika Barok berteriak.
“Apa-apaan ini? Apa yang telah kalian lakukan berdua? Haaa…” Istrinya sama kagetnya dengan suaminya. Lalu segera menahan tubuh suaminya yang sedang murka.
“Barok? Bukankah kamu lagi lembur di kantor?”
“Kurang ajar kamu Pon…!! Jadi selama ini kamu main gila dengan istriku tiap aku lembur di kantor? Enggak nyangka Ponadi yang selama ini aku kenal, ternyata seperti ular beludak. Sialaaan…!!”
Pakk.. Pokkk…Bugg..!! Bogem mentah mendarat di muka Ponadi. Sementara istrinya sudah lebih dulu terkapar pingsan karena tamparan kuat Barok.
Malam itu Barok berhasil mendapat menu santapan “perselingkuhan” sebagai makan malamnya.