Rabu, 26 Februari 2014

MAESTRO PENGEMIS

Berita tentang pengemis kaya memenuhi berbagai media cetak dan elektronik. Petugas Satpol PP meringkus Pak Walang dalam operasi GEPENG (Gelandangan dan Pengemis) dan berhasil mengamankan uang tunai sebanyak dua puluh juta dari tangan Pak Walang. Berita tentang Pak Walang sontak membuat masyarakat yang mengetahui berita itu langsung kehilangan kepercayaan terhadap pengemis dan tidak mau memberikan uang kepada pengemis yang ternyata lebih kaya darinya. Banyak orang yang kemudian ingin tahu tentang Pak Walang. Bahkan ada acara Reality Show yang sampai mengundang Pak Walang secara eksklusif selama sembilan puluh menit pada jam prime time. Pak Walang bercerita bahwa semuanya berawal dari kemarau berkepanjangan pada awal millennium baru yang terjadi di kampung halamannya dan mengakibatkan sawah kecilnya gagal panen sehingga Pak Walang bangkrut dan hidup dalam hutang. Keadaan yang serba sulit tersebut memaksa Pak Walang untuk hijrah seorang diri meninggalkan anak dan istri ke kota tanpa bekal apapun. Hanya sepotong pakaian dan nekad saja yang ia bawa ke kota besar demi meyelamatkan hidup keluarganya.

“Bu, maafkan suamimu ini karena belum mampu membelikan satupun perhiasan emas.” Ujar Pak Walang sambil memandangi istrinya yang sedang tertidur lelap. “Nak, Bapak janji, setelah kembali dari kota nanti, Bapak akan membelikanmu HP biar kamu tidak diejek terus sama temanmu di sekolah.” Pak Walang kemudian mencium kening anak perempuannya yang tidur di sebelah ibunya, tak lupa Pak Walang mencium kening istrinya. Lalu Pak Walang berjalan keluar dengan langkah berat sambil sesekali menoleh ke arah anak dan istrinya, seakan tidak tega meninggalkan keluarga kecilnya. Namun, ia lebih tidak tega lagi melihat keluarganya menderita kemiskinan berkepanjangan. Dengan keteguhan hati, Pak Walang meninggalkan surat untuk keluarganya di sela-sela bilik bambo rumahnya kemudian bergegas pergi dari rumah gubug bambunya. Semakin jauh dan semakin jauh lagi dari rumahnya, Pak Walang berulang kali menoleh ke gubug reotnya yang perlahan bayangannya pudar ditelan kabut malam, Pak Walang kemudian berlari. Air berasa asin mulai menjebol bendungan pelupuk matanya dan membanjiri pipinya yang penuh kerutan.

Sesampainya di pinggir jalan utama di desa itu, Pak Walang hanya berdiri sambil mengacungkan jempol kanannya tinggi-tinggi berharap ada sopir kendaraan yang lewat sudi memberikannya tumpangan. Sudah hampir satu jam Pak Walang berdiri di pinggir jalan tersebut namun belum mendapatkan tumpangan. Padahal kabut malam sudah mulai lenyap dan digantikan cahaya matahari yang temaram perlahan bercokol di ufuk timur. Cahaya itu menerobos diantara ranting-ranting pepohonan dan menerpa wajahnya. Membuat air matanya yang menempel di pipinya perlahan mengering. Kemudian dilihatnya truk keluar dari persimpangan jalan dan lagi-lagi Pak Walang mengacungkan jempolnya, dan beruntung perlahan tapi pasti truk muatan pasir itu menurunkan laju truknya dan berhenti di samping Pak Walang.

“Mas, saya mau numpang ke kota Surabaya, boleh kan mas..?” kata Pak Walang dengan nada sendu dan pasang wajah memelas kepada sopir truk itu.

“Ayo lah Pak, silahkan naik aja. Saya juga mau mendistribusikan pasir ke Surabaya kok.” Sang sopir kemudian membukakan pintu samping truk dan Pak Walang naik ke truk itu.

Selama perjalanan, pikiran Pak Walang menerawang jauh ke awang-awang lewat kaca pintu truk. Mulai terbayang uang berseliweran yang mungkin bisa didapatkannya. Dan yang menjadi pikiran utamanya adalah dimana nanti dia harus tinggal selama di Surabaya? Pak Walang sama sekali tidak punya saudara atau teman di kota Surabaya. Tapi Pak Walang sudah nekad. Bagaimanapun keluarganya harus hidup sejahtera. Tak peduli bagaimanapun caranya.

Ada pameo yang mengatakan bahwa ibu kota ternyata lebih kejam daripada ibu tiri. Banyak orang desa yang mempunyai mimpi besar dan menjadi sukses jika mereka pindah ke kota. Kemegahan dan gemerlapan kehidupan kota yang sering kali dimunculkan di media televisi telah menyilaukan mata orang desa. Semua kemewahan-kemewahan itu telah menarik hati orang-orang udik. Sehingga makin banyak saja orang yang nekat melakukan urbanisasi. Akibatnya jumlah penduduk kota semakin banyak dengan cepat, sementara jumlah lowongan pekerjaan cenderung tetap. Kalaupun ada pertambahan jumlah lowongan pekerjaan, itu pun masih belum sebanding dengan jumlah pencari kerja yang kebanyakan berasal dari para orang yang melakukan urbanisasi.

Seperti efek berantai, kemudian muncul semakin banyak pengangguran. Lalu para pengangguran itu ketika tergoda oleh setan, akan menjadi copet, rampok, bahkan pembunuh. Aksi kriminal akan semakin tumbuh banyak seperti jamur yang bercokolan ketika musim hujan. Tabiat kota sangat tidak bersahabat kepada orang udik yang tidak punya daya juang dan kreativitas tinggi. Apalagi orang yang tidak berpendidikan dan tidak punya keterampilan seperti Pak Walang. Keahliannya hanya bertani saja. Keahlian yang tidak berguna ketika hidup di kota. Ijazah SD pun tidak akan bisa digunakan melamar pekerjaan. Sudah seminggu sejak menginjakkan kakinya di Surabaya, Pak Walang gagal mendapatkan pekerjaan apapun. Impiannya untuk membelikan istri dan anaknya perhiasan dan HP baru seakan sirna. Tarikan napas Pak Walang semakin sesak dengan keadaan kota yang sudah penuh dan polusi udara di berbagai sudut kota. Tiap detik adalah perjuangan bertahan hidup.

Mulai dari pagi hari sampai sore hari, Pak Walang terus mencari peluang kerja yang terlihat seperti fatamorgana. Ketika malam tiba, Pak Walang beristirahat di jalanan yang mulai sepi. Kadang di trotoar, kadang di jembatan penyeberangan, kadang pula di depan toko orang Cina yang sudah tutup. Sampai pada suatu pagi ketika Pak Walang bangun dari tidur, dia heran dan terkejut ketika kardus bekas yang ia gunakan tidur terdapat beberapa uang receh dan beberapa lembar uang ribuan. Betapa senangnya Pak Walang menemukan uang itu. Dia tidak peduli tentang asal usul mengapa uang itu tiba-tiba ada disana. Dengan sangat baik, uang itu ia belikan sebuah nasi bungkus. Lalu Pak Walang dengan sangat lahap dan seperti kesetanan memakan nasi bungkus itu. Maklum saja, sudah tiga hari Pak Walang tidak makan. Kejadian itu terus berulang selama empat hari selanjutnya.

Suatu hari karena terlalu capai, Pak Walang duduk bersimpuh di pinggir trotoar yang ditudungi oleh rindangnya pohon mahoni. Dengan tatapan nanar, Pak Walang menengadahkan kepalanya ke langit. Dilihatnya bayangan istri dan anaknya yang sedang kebingungan dan memanggil-manggil namanya. Mata Pak Walang berangsur menjadi tergenang air matanya sendiri yang sulit dibendung. Deru mesin-mesin motor dan mobil yang sedang macet di depannya menjadi back sound pengiring kesedihan Pak Walang. Sekonyong-konyong koder, suara uang receh yang jatuh di depannya membuat layar langit lamunannya mati. Pak Walang tersadar, ada uang receh jatuh di depannya. Kemudian datang lagi orang lewat di depannya, lalu menjatuhkan uang di depannya. Kali ini uang seribuan. Pak Walang sekarang tahu dari mana asalnya uang yang dibelikannya nasi bungkus beberapa hari sebelumnya. “Ternyata orang-orang mengira aku pengemis ya…? Makanya mereka menjatuhkan uang padaku.” Ujar Pak Walang dalam hati. Di dalam hati kecilnya ingin menolak pemberian orang, tapi bayangan anak dan istrinya memaksanya menjadi pengemis.

Pak Walang yang nomaden selama di kota Surabaya, mulai memutuskan untuk menetap dan berpikir untuk mendirikan sebuah gubug kecil untuk sekedar berlndung dari terik dan hujan. Jadilah gubug kecil di bawah kolong jembatan terbuat dari kardus-kardus yang disambung-sambung dengan tali rafia yang semua bahannya sudah tersedia di aliran sungai yang terbentang di bawah jembatan itu. Setiap hari kerjaannya hanya duduk di tempat yang sama, trotoar pinggir jalan di bawah pohon mahoni. Pak Walang sudah mulai terbiasa meredahkan martabatnya sampai tertelungkup pada dunia pengemis. Makin hari uang yang diperolehnya tambah banyak dan lebih dari cukup untuk makan sehari hari. Tapi tentu saja tidak cukup untuk membahagiakan anak dan istrinya di kampung. Maka untuk mendongkrak pemasukannya, Pak Walang berpindah ke daerah-daerah yang lebih ramai dengan lalu lalang orang kota.

Di tempat tongkrongan mangkal yang baru, Pak Walang mendapatkan rekan-rekan kerja yang berprofesi sama dengan Pak Walang. Diantaranya ada Pak Doblang dan Yuk Jumani. Lokasinya di sebuah jembatan penyeberangan. Siang itu Pak Walang berpikir jika ada teman, maka lebih baik. Bergeraklah Pak Walang mendekati dua orang pengemis itu.

“Pak, sudah lama disini?” Tanya Pak Walang sambil memandang jijik pada luka bakar yang bersemburatan di kedua kaki Pak Doblang.

“Ya iya lah, sejak tadi pagi saya sudah ada di sini.” Jawab Pak Doblang sambil bersungut-sungut.

“Maksud saya Pak, sampeyan sudah lama jadi pengemis di sini?” masih dengan nada sabar yang sok akrab.

“Ouwh, saya sudah jadi pengemis sejak lulus SD Pak. Saya pendatang dari Madura. Keluarga saya adalah pengemis juga. Jadi keterampilan mengemis diturunkan kepada anak-anaknya. Ya termasuk saya ini. Sampeyan ini pengemis baru ya?”

“Iya Pak, saya terpaksa jadi pengemis karena udah cari kerja kemana-mana ternyata enggak dapat. Keterampilan saya juga enggak dibutuhkan di kota ini. Saya dulunya petani di desa Pak. Tapi sawah saya gagal panen, harga pupuk mahal, dan terpaksa saya jual sawah untuk bayar utang. Akhirnya saya hijrah ke sini. Kalau ibu, udah berapa lama jadi pengemis? Kok bawa anaknya sech?” Pak Walang keheranan melihat pengemis ibu-ibu yang mangkal sambil bawa anaknya yang masih bayi.

“Saya istrinya Pak Doblang Pak. Saya jadi pengemis ya diajak suami saya ini. Enakan gini Pak, sehari bisa dapat seratus ribu lebih. Digabung dengan hasil suami saya jadi tambah banyak Pak. Anak saya bawa biar orang yang lewat jadi lebih kasihan sama saya Pak.” Kata Yuk Jumani sambil menggendong anaknya.

“Eeh Pak…. Hhmm Pak siapa namanya?..” Tanya Pak Doblang.

“Saya Pak Walang.”

“Pak Walang.. luka bakar yang di kaki saya ini juga saya buat sendiri di rumah Pak, biar orang yang lewat jadi iba melihat saya, lalu akhirnya mereka ngasih duit dech.” Pak Doblang semangat sekali menjelaskan pada Pak Walang.

“Wadoh, gitu ya. Waah, saya jadi dapat ilmu baru nech tentang perngemisan. Ya udah Pak, saya juga mau ngemis di sini aja bareng sampeyan dan Yuk Jumani. Sekalian mengambil pengalaman dari sampeyan berdua. Boleh kan Pak?” Pak Walang sambil menggelar kardus mengambil tempat ndemprok di sudut jembatan penyeberangan itu.

“Iya Pak, silahkan saja Pak, semoga sukses ya.” Kata Pak Doblang dengan mengangguk kepada Pak Walang.

Hari itu Pak Walang hanya berfokus dengan dua orang pengemis yang baru saja dia kenal. Dia melihat banyak sekali orang yang lewat memberikan uang pada Pak Doblang dan Yuk Jumani. Sementara itu Pak Walang hanya dilewati saja tanpa ada uang yang jatuh ke wadah plastiknya. Tapi Pak Walang tidak peduli dengan pendapatannya mengemis hari itu. Dia sudah sangat senang mendapatkan ilmu baru dari dua orang yang sudah professional dalam bidang perngemisan. Pak Walang pulang kembali ke gubuknya dengan ide dan semangat baru sambil bersiul riang.

Seperti biasa di pagi hari yang belum dihiasi oleh cahaya mentari, dengan udara yang masih dingin dan menyisakan embun yang menempel dan bertimbulan di logam metal penyangga jembatan di atasnya, Pak Walang sudah lebih dulu bangun lebih awal dari pada ayam jago milik tetangganya untuk mempersiapkan diri mengumpulkan uang di tengah kota. Sangat mudah untuk membedakan Pak Walang dengan orang-orang lainnya. Identitasnya terletak pada tongkat kayu yang selalu ia bawa kemanapun, yang ia pungut hanyut dari sungai yang mengalir di depan gubuknya, tepat di bawah jembatan. Pakaian yang dikenakannya nampak lusuh, dekil dan compang camping seperti habis dicabik-cabik anjing. Di bagian punggung tertulis “GOLONGAN KARYA”, dan di bawahnya terdapat gambar beringin persis seperti gambar di Pancasila sila ke-3. Pakaian satu-satunya itu ia dapatkan dari pemberian seseorang yang tidak dikenal saat dia sedang mencangkuli sawahnya di kampung halamannya pada musim pemilu tahun 2000. Tidak lupa Pak Walang menenteng wadah plastik bekas botol minuman yang ia potong bagian sepertiga bawahnya.

Pak Walang harus berjalan selama kurang lebih dua jam menyusuri jalan di bantaran sungai kemudian berbelok menapaki gang sempit diantara kawasan pemukiman yang kumuh untuk menuju ke pusat kota demi mendapatkan uang mudah. Bau air sungai yang penuh sampah dan berwarna jelaga memenuhi udara di kawasan pemukiman itu. Kalau hujan air sungai meluap dan membanjiri daerah sekitar.

Tibalah Pak Walang dengan wajah percaya diri penuh semangat secara perlahan menaiki setapak demi setapak anak tangga jembatan penyeberangan itu seperti putri ratu yang menaiki tangga kerajaan. Sepanjang mata memandang di lorong jembatan penyeberangan itu tidak ada master pengemis yang dia temui kemarin. Pagi itu juga masih sepi orang lewat. Pak Walang mengambil kesempatan itu untuk mengambil tempat ndemprok yang paling strategis dan mempersiapkan diri menerima uang mudah dari orang lain.

“Assalamu’alaikum Pak…” suara Pak Doblang mengagetkan Pak Walang yang sedang menunduk acting jadi orang susah.

“Wa’alaikumsalam.Wr.Wb…. Eeeh, Pak Doblang dan Yuk Jumani.” Pak Walang nampak tidak senang dengan kedatangan dua master senior pengemis itu.

“Lho… kenapa tangan dan kaki sampeyan itu Pak? Habis jatuh ya? Kok pakai perban dan berdarah-darah gitu Pak?” Tanya Pak Doblang keheranan. Padahal saat ditemuinya kemarin, Pak Walang sehat-sehat saja.

“Hehehe… Pak Doblang, saya ndak apa-apa kok. Ini luka saya buat sendiri di gubug saya tadi subuh-subuh. Ya saya kan mengikuti apa yang sampeyan katakana kemarin. Biar orang-orang yang lewat bisa iba dan ngasih uang pada saya. Kan saya pengen kayak sampeyan. Saya benar-benar terinspirasi sama Pak Doblang.” Ketus Pak Walang dengan bangganya karena penyamarannya berhasil mengelabuhi Pak Doblang, sang maestro pengemis.

“Waah, Pak Walang ini benar-benar hebat. Mak Nyos. Pengemis baru tapi sudah seperti seorang professional saja.” Sahut Yuk Jumani melihat dandanan Pak Walang yang sangat meyakinkan.

“Saya yakin banget pasti Pak Walang hari ini dapat uang yang banyak banget. Habisnya, luka-luka yang Pak Walang buat itu bikin iba beneran. Saya saja tadi berhasil terkelabuhi oleh dandanan Pak Walang.” Tambah Yuk Jumani bermaksud menyemangati Pak Walang.

“Aaah… Yuk Jumani ini lho, bisa saja kalau memuji. Iya Yuk, mudah-mudahan hari ini ngemisnya lancar.”

“Amiiin. Ya udah Pak, lebih baik kita menggelar kardus kita segera. Kita harus segera siap-siap, karena sebentar lagi adalah jam sibuk dan akan ada banyak orang lewat sini. Kita hentikan dulu ngobrolnya sebelum ada orang lewat tahu kalau kita menipu mereka.” Kata Yuk Jumani sambil mengajak Pak Doblang duduk bersimpuh di kardus yang telah digelar.

“Semoga sukses ya Pak Doblang dan Yuk Jumani.” Ujar Pak Walang sambil menghujamkan tinjunya ke udara seolah memberikan semangat pada kedua maestro pengemis itu.

“Iya Pak Walang, sama-sama.” Sahut Pak Doblang sambil mulai acting kesusahan berduet dengan istrinya.

Sukses besar. Hari itu The Three Musketeers pemulung itu mendapatkan uang yang lumayan banyak. Mungkin bisa melebihi hasil pendapatan dari profesi lain yang masih harus susah payah mendapatkannya. Pak Walang saja yang merupakan rookie pemulung, mendapatkan hasil sebesar Rp. 132.500,00. Tidak usah ditanya berapa penghasilan Pak Doblang dan Yuk Jumani yang sudah menjadi pemulung kawakan. Pak Walang sudah berniat untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyamaran dan actingnya agar kelihatan meyakinkan di mata orang-orang sehingga nanti timbul rasa iba dan langsung memancing keinginan untuk memberikan beberapa uang receh. Benar saja, pendapatannya langsung meningkat signifikan. Dalam dua minggu Pak Walang sudah mendapatkan total penghasilan Rp. 2. 472.300,00. Uang Pak Walang terus menggelembung, menggunung dan memenuhi tas kresek plastik yang selalu ia gondola kemanapun. Takut ilang. Tapi semua orang tidak akan mengira kalau isi kresek plastic itu adalah uang. Angkanya tembus dua puluh juta lebih. Bulan keempat sejak kedatangannya ke kota Surabaya, Pak Walang berencana pulang dan memberikan uang yang didapatnya dari mengemis sekaligus melepas kangen dengan anak dan istrinya di kampung halaman.

Untuk mempersiapkan kepulangannya esok hari, Pak Walang sekali lagi mengemis dengan dua temannya, Pak Doblang dan Yuk Jumani. Namun saat matahari sudah semakin tinggi, pasutri pengemis itu belum juga kelihatan batang hidungnya.

“Lha kok tumben udah siang gini mereka berdua ndak mangkal disini? Mereka kenapa ya? Apa mungkin sakit?” Pikiran Pak Walang gusar dan merasakan ada yang janggal dengan absennya dua sahabatnya itu. Namun Pak Walang tetap melanjutkan kegiatannya berakting orang susah di depan orang-orang yang lewat di jembatan penyeberangan tempat ia mangkal.

Sambil tetap tertunduk dan menengadahkan tangan kanannya, telinga awas Pak Walang mendengar suara langkah kaki yang berat.

“Waah, ada lagi yang lewat. Sepertinya orang berduit nih, kedengeran dari suara sepatunya. Thak…thok…thak…thok. Mantap. Eeh, suara langkahnya tambah ramai, sepertinya lebih dari dua orang. Saatnya acting lagi nih.” Seiring dengan mendekatnya suara langkah-langkah kaki itu, Pak Walang berakting lagi.

“Paaak…. Buuu.. minta uaaang buat makaaan.” Pak Walang masih menunduk dan menengadahkan tangan saat langkah-langkah kaki itu berhenti di depannya.

“Lho, kok malah berhenti di depan saya sih? Kok ndak ngasih uang?” lalu Pak Walang mendongak kepada sosok-sosok yang ada di depannya. Empat orang yang dilihatnya terlihat mirip karena seragam yang dipakainya. Pada kemeja orang-orang itu tertulis “SATPOL PP”. Pak Walang tetap saja memandang orang-orang itu seperti melihat hantu.

“Mari ikut kami Pak..!!” sambil memegang tangan Pak Walang, salah satu petugas langsung menggiringnya ke truk SATPOL PP. sementara petugas lain membereskan alas kardus, tongkat dan tas kresek plastic berisi uang hasil mengemisnya selama ini.

“Lho Pak, ada apa ini? Saya mau dibawa kemana Pak?” Teriak Pak Walang kepada petugas SATPOL PP. Pak Walang kebingungan dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ditengah-tengah kebingungannya, mata Pak Walang melihat Pak Doblang dan Yuk Jumani sedang berdiri di depan warung makan tepat di seberang truk SATPOL PP. Mereka berdua berdandan bersih dengan pakaian casual dan tersenyum kepada Pak Walang.

Pak Walang baru sadar mengapa Pak Doblang dan Yuk Jumani tidak mangkal hari ini. Mereka berdua sudah mengetahui kalau hari ini ada razia gelandangan dan pengemis oleh SATPOL PP. Tentunya, sebutan maestro pengemis tidak akan disematkan kepada Pak Doblang dan Yuk Jumani jika keduanya tidak berpengalaman seperti Pak Walang.