Minggu, 09 Maret 2014

BAROK

Asap putih bergumpal-gumpal keluar dari mulut hitam Barok. Giginya yang kuning karena noda kopi sesekali terlihat ketika dia melempar senyum palsu kepada rekan-rekan kerjanya yang saat itu sedang istirahat jam makan siang bareng di warung depan kantornya. Barok terlihat lebih tua dari usianya yang baru tiga puluhan. Kerutan di dahinya terdapat tiga jalur yang penuh daki. Rambut yang ogah menempel di ubun-ubunnya sudah beruban. Barok hanya tersenyum dengan mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya ketika semua rekan-rekannya tertawa terpingkal-pingkal mendengar Ponadi menceritakan sesuatu yang lucu.

“Hahahaha…. Bisa aja kamu Pon. Bikin kita tertawa terus. Perut ini rasanya sampai kram. Hahahaha… ini.. hahaha… ini air mata juga sampai keluar. Lucu banget.” Sambil memegangi perutnya, salah satu rekan Barok tidak dapat menahan tawanya mendengar cerita lucu Ponadi.

“Eh Rok… kamu kenapa? Kok kayak enggak semangat gitu. Padahal kan hari ini kita gajian.” Tanya salah satu rekan Barok yang lain kepadanya.

“Hadeeeh, iya sech kita memang gajian. Tadi aku juga udah terima gaji dari bendahara. Tapi..” Barok melanjutkan menyedot rokoknya kuat-kuat untuk terakhir kalinya, dua detik kemudian dia buang puntung rokok ke jalan bersamaan dengan asap putih mengepul dan melayang-layang di udara dan membuat wajah lesu Barok semakin kabur dibalik asap rokoknya.

“Tapi percuma saja. Uang gajiku enggak pernah cukup. Seminggu lagi pasti uang gajiku udah ludes habis. Kebutuhan orang yang sudah berumah tangga memang jauh lebih banyak dari saat aku masih bujang dulu. Kalian tahu sendiri kan, biaya sekolah jaman sekarang itu mahal. Belum lagi, ibu-nya anak-anak itu kan hanya ibu rumah tangga, tapi enggak ada pandai-pandainya ngatur keuangan keluarga. Masak duit gajian enggak ada sisa sama sekali tiap bulan. Malah tekor. Makin ruwet aja neh hidup.”

Barok segera membayar sejumlah uang untuk makanan, minuman dan rokok yang ia nikmati. Lalu kembali ke dalam kantor. Rekan-rekannya menyusul dan membuntuti di belakangnya.

Barok kembali bekerja menyelesaikan tugas yang menumpuk. Hingga tidak terasa hari sudah malam. Bayangan dirinya nemplok di dinding karena sorot cahaya radiasi komputer di ruang kerjanya. Lalu siluet bayangan tubuh yang lain muncul dari belakangnya. Barok kaget. Matanya melotot. Mulutnya terbuka lebar dan berteriak kecil.

“Haaaa… Astaghfirullahaladzim. Hadeh, bikin kaget saja sampeyan Pak. Kayak pemain sulap aja tiba-tiba muncul di sebelah saya.” Sambil mengelus dadanya bermaksud menenangkan diri karena dikagetkan dengan kemunculan Satpam kantor yang tiba-tiba. Sosoknya tinggi besar seperti pegulat Smack Down. Kulitnya hitam mengkilat seperti di waxing. Kumisnya yang seperti potongan hambal membentang di atas bibirnya yang sedang menyeringai. Hanya giginya yang tanggal dua buah saja yang kelihatan saat dia menyapa Barok.

“Maaf Mas Barok, sudah bikin kaget. Lembur ya mas?”

“Siapa yang lembur Pak? Saya enggak ada niat lembur. Ini masih jam kerja kan?”

“Jam kerja sudah berakhir sejam yang lalu Mas. Karyawan kantor udah pulang semua. Ini saya lagi patrol keliling ruangan. Kok saya liat ruangan ini belum terkunci. Jadi saya mengendap masuk. Eeh, ternyata Mas Barok masih belum pulang.”

“Wadoh, gimana ini. Kerjaan saya masih banyak dan numpuk. Walaaah..!!” kedua tangan Barok mengusap-usap kepalanya yang botak di sektor depan.

“Ya selesaikan saja di sini Mas. Enggak apa-apa kok.”

“Wadoh, biar saya kerjakan di rumah aja Pak. Mungkin sekarang istri saya sudah menunggu saya di meja makan untuk makan malam. Saya tidak mau membuatnya menunggu lama. Saya juga harus mampir ke toko buku untuk membelikan anak saya buku cerita. Tunggu saja diluar sebentar Pak. Saya akan membereskan ruang kerja saya sebentar.”

“Oke Mas. Saya tunggu di luar ya.”

“Yo’i”

Sejenak, sapu tangan pemberian istrinya pada saat pacaran dulu melenyapkan dan mengusap kepenatan beserta semua minyak bercampur keringat berdebu di wajah dan lehernya. Jaket berlogo timnas sepak bola Indonesia yang dibelinya di pasar, segera dipakaikan ke tubuhnya yang masih terbalut kemeja yang basah dan bau kecut keringatnya.

“Pak, saya pulang duluan ya.”

“Oh, udah beres semua di dalam?”

“Sudah beres kok Pak. Ya udah dech Pak, saya pulang duluan. Assalaamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.Wr.Wb. Oke Mas Barok, hati-hati di jalan ya.”

Motor kreditan Barok yang belum lunas itu ia geber kencang. Dalam sekejap, Barok melesat dan hilang bersama kabut malam. Barok harus bergegas agar cepat sampai di toko buku sebelum toko bukunya tutup. Barok meliak-liuk dengan motornya melewati motor lain, mobil dan truk yang jalan beriringan sekaligus. Tidak sekali suara klakson dibunyikan karena ulah Barok. Suara mulut mencaci maki juga sempat diterima Barok, tapi yang dimaki cuek dan malah menarik stang gas penuh. Motornya makin kencang. Helm yang dipakai bergoncang karena angin yang menerpa. Ban roda motor sesaat tidak menempel di aspal.

Tiba-tiba seekor kucing menyeberang jalan tepat di depannya. Rem tangan dan kaki segera ditekan bersamaan. Ciiiit… ciiiit….ciiiitt… suara ban yang bergesekan dengan aspal mengagetkan kucing itu dan lari tunggang langgang. Barok berjuang keras mengendalikan kuda besinya yang seperti berjingkrak-jingkrak liar. Tubuh Barok ikut berlenggak-lenggok mengikuti gerakan motornya. Gerakan harmonis dengan motornya tidak diduga telah menyelamatkan dirinya karena Barok berhasil tetap menunggangi sadel motornya. Seketika itu juga Barok menghentikan motornya dan mematikan mesin, lalu melihat ke arah belakang. Jalanan tampak sepi dengan noda garis-garis hitam mirip jalur ular akibat gesekan ban motornya dengan aspal jalanan.

“Alhamdulillaaah Ya Allah, untung saja enggak sampai jatuh tersungkur di jalanan. Haduuuh, Alhamdulillah.” Sambil menghela nafas panjang, Barok mengelus dadanya yang masih berdegup kencang karena peristiwa itu.

Toko buku tinggal 5 menit perjalanan dari tempat Barok berhenti. Dengan jiwa masih shock, Barok mengendarai motor dengan lebih pelan. Sampai akhirnya tiba di tempat parkir areal toko buku. Segera setelah buku permintaan anaknya telah terbeli, Barok bergegas pulang. Dipikirannya selalu terbayang anak dan istri tercintanya yang mungkin saja sedang menantinya di rumah. Tapi begitu dia keluar dari toko buku dan pandangannya tertuju pada motornya….

“Lho, sialan..!! Aduuh, kenapa ini ban motor kok tiba-tiba kempes sech. Perasaan tadi enggak apa-apa. Mungkin kena paku kali ya. Tapi mataku enggak kelihatan pakunya. Gelap. Mana ada tambal ban malam-malam gini. Hadeeeh, tanggung. Dorong aja lah nech motor.”

Ban motor kempes. Barok memutuskan untuk mendorong motornya. Jika ban motor enggak kempes dan bisa dikendarai, hanya butuh waktu sepuluh menit lagi menuju rumahnya.

“Hhmm, sial bener. Kerjaan makin banyak, tapi gaji enggak naik-naik. Lalu tadi hampir nabrak kucing. Eeeh, sekarang malah ban kempes. Kapan ya nasib bisa berubah jadi mujur? Teman-teman di kantor kayaknya enggak punya masalah. Mereka selalu bahagia. Bahkan Si Ponadi bisa tuch bikin mereka tertawa-tawa berkat ceritanya. Bikin iri aja Si Ponadi.” Udara malam yang dingin ternyata tidak mampu menghentikan keringat yang mulai berkucuran dari badannya. Rasa pegal menjalar mulai dari kaki merayap ke punggung dan kedua lengannya. Tapi rasa sakitnya akan hilang bila nanti sampai di rumah. Istrinya akan memberikan pijatan terbaiknya agar pegal-pegal di badannya hilang. Begitulah yang ada di pikiran Barok. Bahkan rasa pegalnya seolah-olah hilang tatkala Barok sampai di depan pintu gerbang rumahnya.

“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di rumah. Hhmm… pasti udah pada tidur semua nech. Lampu dalam rumah mati semua.” Barok dengan sangat perlahan membuka pintu gerbang agar tidak berisik dan membangunkan orang rumah. Cara yang sama juga dilakukan saat membuka pintu rumah dengan menggunakan kunci serep yang selalu ia bawa-bawa.

Barok berjalan menuju kamar anaknya dan dengan perlahan membuka pintu kamar. Barok melihat di kasur itu anaknya tidur dengan pulas. Barok segera mencium kening anaknya sembari berkata, “Nak, maafkan ayah ya karena membuatmu menunggu lama. Ini buku yang kamu inginkan. Semoga kamu senang. Ayah sayang kamu nak. Selamat bobo’ ya nak. Semoga kamu mimpi indah.” Anak kecil itu hanya menggeliat sambil bergumam tidak jelas.

Krucuk..krucuk…krucuk… cacing di dalam perut Barok seperti berunjuk rasa dan mengoyak isi perutnya. Lapar yang akut memaksanya segera menggeledah ke ruang makan. Mungkin saja istrinya menyisihkan makanan untuknya.

“Lho, kok enggak ada makanan ya, apa mungkin ada di dapur.” Barok beranjak ke dapur dan siap bertarung dengan tikus, kecoa dan semut demi makan malamnya. Tapi Barok sekali lagi kecewa karena tidak menemukan makanan.

“Hadeeeh, sial bener. Perut lapar tapi enggak disiapkan makanan. Ya sudahlah, bobo’ aja. Mungkin rasa lapar, capek dan pegal-pegal bisa hilang.” Dengan langkah gontai dan muka masam menahan lapar Barok memutuskan untuk segera tidur. Kata-kata “sial” terus keluar dari mulutnya.

Pintu kamar ia buka perlahan supaya istrinya tidak terbangun. Tombol lampu yang nempel di dinding sebelah pintu itu ia tekan dengan jari tengahnya. Sungguh diluar dugaan. Apa yang ia pikirkan ternyata berbeda dengan apa yang ia lihat. Barok naik pitam. Selimut itu ia tarik kuat-kuat. Matanya melongo melihat dua orang yang telanjang bulat. Urat-urat di leher dan jidatnya mencuat ketika Barok berteriak.

“Apa-apaan ini? Apa yang telah kalian lakukan berdua? Haaa…” Istrinya sama kagetnya dengan suaminya. Lalu segera menahan tubuh suaminya yang sedang murka.

“Barok? Bukankah kamu lagi lembur di kantor?”

“Kurang ajar kamu Pon…!! Jadi selama ini kamu main gila dengan istriku tiap aku lembur di kantor? Enggak nyangka Ponadi yang selama ini aku kenal, ternyata seperti ular beludak. Sialaaan…!!”

Pakk.. Pokkk…Bugg..!! Bogem mentah mendarat di muka Ponadi. Sementara istrinya sudah lebih dulu terkapar pingsan karena tamparan kuat Barok.



Malam itu Barok berhasil mendapat menu santapan “perselingkuhan” sebagai makan malamnya.

Rabu, 26 Februari 2014

MAESTRO PENGEMIS

Berita tentang pengemis kaya memenuhi berbagai media cetak dan elektronik. Petugas Satpol PP meringkus Pak Walang dalam operasi GEPENG (Gelandangan dan Pengemis) dan berhasil mengamankan uang tunai sebanyak dua puluh juta dari tangan Pak Walang. Berita tentang Pak Walang sontak membuat masyarakat yang mengetahui berita itu langsung kehilangan kepercayaan terhadap pengemis dan tidak mau memberikan uang kepada pengemis yang ternyata lebih kaya darinya. Banyak orang yang kemudian ingin tahu tentang Pak Walang. Bahkan ada acara Reality Show yang sampai mengundang Pak Walang secara eksklusif selama sembilan puluh menit pada jam prime time. Pak Walang bercerita bahwa semuanya berawal dari kemarau berkepanjangan pada awal millennium baru yang terjadi di kampung halamannya dan mengakibatkan sawah kecilnya gagal panen sehingga Pak Walang bangkrut dan hidup dalam hutang. Keadaan yang serba sulit tersebut memaksa Pak Walang untuk hijrah seorang diri meninggalkan anak dan istri ke kota tanpa bekal apapun. Hanya sepotong pakaian dan nekad saja yang ia bawa ke kota besar demi meyelamatkan hidup keluarganya.

“Bu, maafkan suamimu ini karena belum mampu membelikan satupun perhiasan emas.” Ujar Pak Walang sambil memandangi istrinya yang sedang tertidur lelap. “Nak, Bapak janji, setelah kembali dari kota nanti, Bapak akan membelikanmu HP biar kamu tidak diejek terus sama temanmu di sekolah.” Pak Walang kemudian mencium kening anak perempuannya yang tidur di sebelah ibunya, tak lupa Pak Walang mencium kening istrinya. Lalu Pak Walang berjalan keluar dengan langkah berat sambil sesekali menoleh ke arah anak dan istrinya, seakan tidak tega meninggalkan keluarga kecilnya. Namun, ia lebih tidak tega lagi melihat keluarganya menderita kemiskinan berkepanjangan. Dengan keteguhan hati, Pak Walang meninggalkan surat untuk keluarganya di sela-sela bilik bambo rumahnya kemudian bergegas pergi dari rumah gubug bambunya. Semakin jauh dan semakin jauh lagi dari rumahnya, Pak Walang berulang kali menoleh ke gubug reotnya yang perlahan bayangannya pudar ditelan kabut malam, Pak Walang kemudian berlari. Air berasa asin mulai menjebol bendungan pelupuk matanya dan membanjiri pipinya yang penuh kerutan.

Sesampainya di pinggir jalan utama di desa itu, Pak Walang hanya berdiri sambil mengacungkan jempol kanannya tinggi-tinggi berharap ada sopir kendaraan yang lewat sudi memberikannya tumpangan. Sudah hampir satu jam Pak Walang berdiri di pinggir jalan tersebut namun belum mendapatkan tumpangan. Padahal kabut malam sudah mulai lenyap dan digantikan cahaya matahari yang temaram perlahan bercokol di ufuk timur. Cahaya itu menerobos diantara ranting-ranting pepohonan dan menerpa wajahnya. Membuat air matanya yang menempel di pipinya perlahan mengering. Kemudian dilihatnya truk keluar dari persimpangan jalan dan lagi-lagi Pak Walang mengacungkan jempolnya, dan beruntung perlahan tapi pasti truk muatan pasir itu menurunkan laju truknya dan berhenti di samping Pak Walang.

“Mas, saya mau numpang ke kota Surabaya, boleh kan mas..?” kata Pak Walang dengan nada sendu dan pasang wajah memelas kepada sopir truk itu.

“Ayo lah Pak, silahkan naik aja. Saya juga mau mendistribusikan pasir ke Surabaya kok.” Sang sopir kemudian membukakan pintu samping truk dan Pak Walang naik ke truk itu.

Selama perjalanan, pikiran Pak Walang menerawang jauh ke awang-awang lewat kaca pintu truk. Mulai terbayang uang berseliweran yang mungkin bisa didapatkannya. Dan yang menjadi pikiran utamanya adalah dimana nanti dia harus tinggal selama di Surabaya? Pak Walang sama sekali tidak punya saudara atau teman di kota Surabaya. Tapi Pak Walang sudah nekad. Bagaimanapun keluarganya harus hidup sejahtera. Tak peduli bagaimanapun caranya.

Ada pameo yang mengatakan bahwa ibu kota ternyata lebih kejam daripada ibu tiri. Banyak orang desa yang mempunyai mimpi besar dan menjadi sukses jika mereka pindah ke kota. Kemegahan dan gemerlapan kehidupan kota yang sering kali dimunculkan di media televisi telah menyilaukan mata orang desa. Semua kemewahan-kemewahan itu telah menarik hati orang-orang udik. Sehingga makin banyak saja orang yang nekat melakukan urbanisasi. Akibatnya jumlah penduduk kota semakin banyak dengan cepat, sementara jumlah lowongan pekerjaan cenderung tetap. Kalaupun ada pertambahan jumlah lowongan pekerjaan, itu pun masih belum sebanding dengan jumlah pencari kerja yang kebanyakan berasal dari para orang yang melakukan urbanisasi.

Seperti efek berantai, kemudian muncul semakin banyak pengangguran. Lalu para pengangguran itu ketika tergoda oleh setan, akan menjadi copet, rampok, bahkan pembunuh. Aksi kriminal akan semakin tumbuh banyak seperti jamur yang bercokolan ketika musim hujan. Tabiat kota sangat tidak bersahabat kepada orang udik yang tidak punya daya juang dan kreativitas tinggi. Apalagi orang yang tidak berpendidikan dan tidak punya keterampilan seperti Pak Walang. Keahliannya hanya bertani saja. Keahlian yang tidak berguna ketika hidup di kota. Ijazah SD pun tidak akan bisa digunakan melamar pekerjaan. Sudah seminggu sejak menginjakkan kakinya di Surabaya, Pak Walang gagal mendapatkan pekerjaan apapun. Impiannya untuk membelikan istri dan anaknya perhiasan dan HP baru seakan sirna. Tarikan napas Pak Walang semakin sesak dengan keadaan kota yang sudah penuh dan polusi udara di berbagai sudut kota. Tiap detik adalah perjuangan bertahan hidup.

Mulai dari pagi hari sampai sore hari, Pak Walang terus mencari peluang kerja yang terlihat seperti fatamorgana. Ketika malam tiba, Pak Walang beristirahat di jalanan yang mulai sepi. Kadang di trotoar, kadang di jembatan penyeberangan, kadang pula di depan toko orang Cina yang sudah tutup. Sampai pada suatu pagi ketika Pak Walang bangun dari tidur, dia heran dan terkejut ketika kardus bekas yang ia gunakan tidur terdapat beberapa uang receh dan beberapa lembar uang ribuan. Betapa senangnya Pak Walang menemukan uang itu. Dia tidak peduli tentang asal usul mengapa uang itu tiba-tiba ada disana. Dengan sangat baik, uang itu ia belikan sebuah nasi bungkus. Lalu Pak Walang dengan sangat lahap dan seperti kesetanan memakan nasi bungkus itu. Maklum saja, sudah tiga hari Pak Walang tidak makan. Kejadian itu terus berulang selama empat hari selanjutnya.

Suatu hari karena terlalu capai, Pak Walang duduk bersimpuh di pinggir trotoar yang ditudungi oleh rindangnya pohon mahoni. Dengan tatapan nanar, Pak Walang menengadahkan kepalanya ke langit. Dilihatnya bayangan istri dan anaknya yang sedang kebingungan dan memanggil-manggil namanya. Mata Pak Walang berangsur menjadi tergenang air matanya sendiri yang sulit dibendung. Deru mesin-mesin motor dan mobil yang sedang macet di depannya menjadi back sound pengiring kesedihan Pak Walang. Sekonyong-konyong koder, suara uang receh yang jatuh di depannya membuat layar langit lamunannya mati. Pak Walang tersadar, ada uang receh jatuh di depannya. Kemudian datang lagi orang lewat di depannya, lalu menjatuhkan uang di depannya. Kali ini uang seribuan. Pak Walang sekarang tahu dari mana asalnya uang yang dibelikannya nasi bungkus beberapa hari sebelumnya. “Ternyata orang-orang mengira aku pengemis ya…? Makanya mereka menjatuhkan uang padaku.” Ujar Pak Walang dalam hati. Di dalam hati kecilnya ingin menolak pemberian orang, tapi bayangan anak dan istrinya memaksanya menjadi pengemis.

Pak Walang yang nomaden selama di kota Surabaya, mulai memutuskan untuk menetap dan berpikir untuk mendirikan sebuah gubug kecil untuk sekedar berlndung dari terik dan hujan. Jadilah gubug kecil di bawah kolong jembatan terbuat dari kardus-kardus yang disambung-sambung dengan tali rafia yang semua bahannya sudah tersedia di aliran sungai yang terbentang di bawah jembatan itu. Setiap hari kerjaannya hanya duduk di tempat yang sama, trotoar pinggir jalan di bawah pohon mahoni. Pak Walang sudah mulai terbiasa meredahkan martabatnya sampai tertelungkup pada dunia pengemis. Makin hari uang yang diperolehnya tambah banyak dan lebih dari cukup untuk makan sehari hari. Tapi tentu saja tidak cukup untuk membahagiakan anak dan istrinya di kampung. Maka untuk mendongkrak pemasukannya, Pak Walang berpindah ke daerah-daerah yang lebih ramai dengan lalu lalang orang kota.

Di tempat tongkrongan mangkal yang baru, Pak Walang mendapatkan rekan-rekan kerja yang berprofesi sama dengan Pak Walang. Diantaranya ada Pak Doblang dan Yuk Jumani. Lokasinya di sebuah jembatan penyeberangan. Siang itu Pak Walang berpikir jika ada teman, maka lebih baik. Bergeraklah Pak Walang mendekati dua orang pengemis itu.

“Pak, sudah lama disini?” Tanya Pak Walang sambil memandang jijik pada luka bakar yang bersemburatan di kedua kaki Pak Doblang.

“Ya iya lah, sejak tadi pagi saya sudah ada di sini.” Jawab Pak Doblang sambil bersungut-sungut.

“Maksud saya Pak, sampeyan sudah lama jadi pengemis di sini?” masih dengan nada sabar yang sok akrab.

“Ouwh, saya sudah jadi pengemis sejak lulus SD Pak. Saya pendatang dari Madura. Keluarga saya adalah pengemis juga. Jadi keterampilan mengemis diturunkan kepada anak-anaknya. Ya termasuk saya ini. Sampeyan ini pengemis baru ya?”

“Iya Pak, saya terpaksa jadi pengemis karena udah cari kerja kemana-mana ternyata enggak dapat. Keterampilan saya juga enggak dibutuhkan di kota ini. Saya dulunya petani di desa Pak. Tapi sawah saya gagal panen, harga pupuk mahal, dan terpaksa saya jual sawah untuk bayar utang. Akhirnya saya hijrah ke sini. Kalau ibu, udah berapa lama jadi pengemis? Kok bawa anaknya sech?” Pak Walang keheranan melihat pengemis ibu-ibu yang mangkal sambil bawa anaknya yang masih bayi.

“Saya istrinya Pak Doblang Pak. Saya jadi pengemis ya diajak suami saya ini. Enakan gini Pak, sehari bisa dapat seratus ribu lebih. Digabung dengan hasil suami saya jadi tambah banyak Pak. Anak saya bawa biar orang yang lewat jadi lebih kasihan sama saya Pak.” Kata Yuk Jumani sambil menggendong anaknya.

“Eeh Pak…. Hhmm Pak siapa namanya?..” Tanya Pak Doblang.

“Saya Pak Walang.”

“Pak Walang.. luka bakar yang di kaki saya ini juga saya buat sendiri di rumah Pak, biar orang yang lewat jadi iba melihat saya, lalu akhirnya mereka ngasih duit dech.” Pak Doblang semangat sekali menjelaskan pada Pak Walang.

“Wadoh, gitu ya. Waah, saya jadi dapat ilmu baru nech tentang perngemisan. Ya udah Pak, saya juga mau ngemis di sini aja bareng sampeyan dan Yuk Jumani. Sekalian mengambil pengalaman dari sampeyan berdua. Boleh kan Pak?” Pak Walang sambil menggelar kardus mengambil tempat ndemprok di sudut jembatan penyeberangan itu.

“Iya Pak, silahkan saja Pak, semoga sukses ya.” Kata Pak Doblang dengan mengangguk kepada Pak Walang.

Hari itu Pak Walang hanya berfokus dengan dua orang pengemis yang baru saja dia kenal. Dia melihat banyak sekali orang yang lewat memberikan uang pada Pak Doblang dan Yuk Jumani. Sementara itu Pak Walang hanya dilewati saja tanpa ada uang yang jatuh ke wadah plastiknya. Tapi Pak Walang tidak peduli dengan pendapatannya mengemis hari itu. Dia sudah sangat senang mendapatkan ilmu baru dari dua orang yang sudah professional dalam bidang perngemisan. Pak Walang pulang kembali ke gubuknya dengan ide dan semangat baru sambil bersiul riang.

Seperti biasa di pagi hari yang belum dihiasi oleh cahaya mentari, dengan udara yang masih dingin dan menyisakan embun yang menempel dan bertimbulan di logam metal penyangga jembatan di atasnya, Pak Walang sudah lebih dulu bangun lebih awal dari pada ayam jago milik tetangganya untuk mempersiapkan diri mengumpulkan uang di tengah kota. Sangat mudah untuk membedakan Pak Walang dengan orang-orang lainnya. Identitasnya terletak pada tongkat kayu yang selalu ia bawa kemanapun, yang ia pungut hanyut dari sungai yang mengalir di depan gubuknya, tepat di bawah jembatan. Pakaian yang dikenakannya nampak lusuh, dekil dan compang camping seperti habis dicabik-cabik anjing. Di bagian punggung tertulis “GOLONGAN KARYA”, dan di bawahnya terdapat gambar beringin persis seperti gambar di Pancasila sila ke-3. Pakaian satu-satunya itu ia dapatkan dari pemberian seseorang yang tidak dikenal saat dia sedang mencangkuli sawahnya di kampung halamannya pada musim pemilu tahun 2000. Tidak lupa Pak Walang menenteng wadah plastik bekas botol minuman yang ia potong bagian sepertiga bawahnya.

Pak Walang harus berjalan selama kurang lebih dua jam menyusuri jalan di bantaran sungai kemudian berbelok menapaki gang sempit diantara kawasan pemukiman yang kumuh untuk menuju ke pusat kota demi mendapatkan uang mudah. Bau air sungai yang penuh sampah dan berwarna jelaga memenuhi udara di kawasan pemukiman itu. Kalau hujan air sungai meluap dan membanjiri daerah sekitar.

Tibalah Pak Walang dengan wajah percaya diri penuh semangat secara perlahan menaiki setapak demi setapak anak tangga jembatan penyeberangan itu seperti putri ratu yang menaiki tangga kerajaan. Sepanjang mata memandang di lorong jembatan penyeberangan itu tidak ada master pengemis yang dia temui kemarin. Pagi itu juga masih sepi orang lewat. Pak Walang mengambil kesempatan itu untuk mengambil tempat ndemprok yang paling strategis dan mempersiapkan diri menerima uang mudah dari orang lain.

“Assalamu’alaikum Pak…” suara Pak Doblang mengagetkan Pak Walang yang sedang menunduk acting jadi orang susah.

“Wa’alaikumsalam.Wr.Wb…. Eeeh, Pak Doblang dan Yuk Jumani.” Pak Walang nampak tidak senang dengan kedatangan dua master senior pengemis itu.

“Lho… kenapa tangan dan kaki sampeyan itu Pak? Habis jatuh ya? Kok pakai perban dan berdarah-darah gitu Pak?” Tanya Pak Doblang keheranan. Padahal saat ditemuinya kemarin, Pak Walang sehat-sehat saja.

“Hehehe… Pak Doblang, saya ndak apa-apa kok. Ini luka saya buat sendiri di gubug saya tadi subuh-subuh. Ya saya kan mengikuti apa yang sampeyan katakana kemarin. Biar orang-orang yang lewat bisa iba dan ngasih uang pada saya. Kan saya pengen kayak sampeyan. Saya benar-benar terinspirasi sama Pak Doblang.” Ketus Pak Walang dengan bangganya karena penyamarannya berhasil mengelabuhi Pak Doblang, sang maestro pengemis.

“Waah, Pak Walang ini benar-benar hebat. Mak Nyos. Pengemis baru tapi sudah seperti seorang professional saja.” Sahut Yuk Jumani melihat dandanan Pak Walang yang sangat meyakinkan.

“Saya yakin banget pasti Pak Walang hari ini dapat uang yang banyak banget. Habisnya, luka-luka yang Pak Walang buat itu bikin iba beneran. Saya saja tadi berhasil terkelabuhi oleh dandanan Pak Walang.” Tambah Yuk Jumani bermaksud menyemangati Pak Walang.

“Aaah… Yuk Jumani ini lho, bisa saja kalau memuji. Iya Yuk, mudah-mudahan hari ini ngemisnya lancar.”

“Amiiin. Ya udah Pak, lebih baik kita menggelar kardus kita segera. Kita harus segera siap-siap, karena sebentar lagi adalah jam sibuk dan akan ada banyak orang lewat sini. Kita hentikan dulu ngobrolnya sebelum ada orang lewat tahu kalau kita menipu mereka.” Kata Yuk Jumani sambil mengajak Pak Doblang duduk bersimpuh di kardus yang telah digelar.

“Semoga sukses ya Pak Doblang dan Yuk Jumani.” Ujar Pak Walang sambil menghujamkan tinjunya ke udara seolah memberikan semangat pada kedua maestro pengemis itu.

“Iya Pak Walang, sama-sama.” Sahut Pak Doblang sambil mulai acting kesusahan berduet dengan istrinya.

Sukses besar. Hari itu The Three Musketeers pemulung itu mendapatkan uang yang lumayan banyak. Mungkin bisa melebihi hasil pendapatan dari profesi lain yang masih harus susah payah mendapatkannya. Pak Walang saja yang merupakan rookie pemulung, mendapatkan hasil sebesar Rp. 132.500,00. Tidak usah ditanya berapa penghasilan Pak Doblang dan Yuk Jumani yang sudah menjadi pemulung kawakan. Pak Walang sudah berniat untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyamaran dan actingnya agar kelihatan meyakinkan di mata orang-orang sehingga nanti timbul rasa iba dan langsung memancing keinginan untuk memberikan beberapa uang receh. Benar saja, pendapatannya langsung meningkat signifikan. Dalam dua minggu Pak Walang sudah mendapatkan total penghasilan Rp. 2. 472.300,00. Uang Pak Walang terus menggelembung, menggunung dan memenuhi tas kresek plastik yang selalu ia gondola kemanapun. Takut ilang. Tapi semua orang tidak akan mengira kalau isi kresek plastic itu adalah uang. Angkanya tembus dua puluh juta lebih. Bulan keempat sejak kedatangannya ke kota Surabaya, Pak Walang berencana pulang dan memberikan uang yang didapatnya dari mengemis sekaligus melepas kangen dengan anak dan istrinya di kampung halaman.

Untuk mempersiapkan kepulangannya esok hari, Pak Walang sekali lagi mengemis dengan dua temannya, Pak Doblang dan Yuk Jumani. Namun saat matahari sudah semakin tinggi, pasutri pengemis itu belum juga kelihatan batang hidungnya.

“Lha kok tumben udah siang gini mereka berdua ndak mangkal disini? Mereka kenapa ya? Apa mungkin sakit?” Pikiran Pak Walang gusar dan merasakan ada yang janggal dengan absennya dua sahabatnya itu. Namun Pak Walang tetap melanjutkan kegiatannya berakting orang susah di depan orang-orang yang lewat di jembatan penyeberangan tempat ia mangkal.

Sambil tetap tertunduk dan menengadahkan tangan kanannya, telinga awas Pak Walang mendengar suara langkah kaki yang berat.

“Waah, ada lagi yang lewat. Sepertinya orang berduit nih, kedengeran dari suara sepatunya. Thak…thok…thak…thok. Mantap. Eeh, suara langkahnya tambah ramai, sepertinya lebih dari dua orang. Saatnya acting lagi nih.” Seiring dengan mendekatnya suara langkah-langkah kaki itu, Pak Walang berakting lagi.

“Paaak…. Buuu.. minta uaaang buat makaaan.” Pak Walang masih menunduk dan menengadahkan tangan saat langkah-langkah kaki itu berhenti di depannya.

“Lho, kok malah berhenti di depan saya sih? Kok ndak ngasih uang?” lalu Pak Walang mendongak kepada sosok-sosok yang ada di depannya. Empat orang yang dilihatnya terlihat mirip karena seragam yang dipakainya. Pada kemeja orang-orang itu tertulis “SATPOL PP”. Pak Walang tetap saja memandang orang-orang itu seperti melihat hantu.

“Mari ikut kami Pak..!!” sambil memegang tangan Pak Walang, salah satu petugas langsung menggiringnya ke truk SATPOL PP. sementara petugas lain membereskan alas kardus, tongkat dan tas kresek plastic berisi uang hasil mengemisnya selama ini.

“Lho Pak, ada apa ini? Saya mau dibawa kemana Pak?” Teriak Pak Walang kepada petugas SATPOL PP. Pak Walang kebingungan dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ditengah-tengah kebingungannya, mata Pak Walang melihat Pak Doblang dan Yuk Jumani sedang berdiri di depan warung makan tepat di seberang truk SATPOL PP. Mereka berdua berdandan bersih dengan pakaian casual dan tersenyum kepada Pak Walang.

Pak Walang baru sadar mengapa Pak Doblang dan Yuk Jumani tidak mangkal hari ini. Mereka berdua sudah mengetahui kalau hari ini ada razia gelandangan dan pengemis oleh SATPOL PP. Tentunya, sebutan maestro pengemis tidak akan disematkan kepada Pak Doblang dan Yuk Jumani jika keduanya tidak berpengalaman seperti Pak Walang.

Selasa, 14 Januari 2014

Selasa, 14 Januari 2014

Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Bagaimana tidak, untuk kesekian kalinya aku kencan lagi dengan dia, sang kekasih tercinta. Sungguh tidak kusangka, berawal dari sms'an yang sangat asyik mulai dari pagi hari sampai tengah hari, dan di ujung berakhirnya sms'an siang itu malah pengen kencan lagi. Padahal siang tadi cuacanya sempat mendung dan hujan, ditambah hembusan angin yang begitu kencang sampai-sampai membuat kulitku menjadi mengkerut sesaat setelah aku selesai mandi siang itu.

Di dalam hati sudah menduga kencan akan gagal, karena cuaca masih mendung walaupun huja sudah reda. Tapi diluar dugaanku, si dia langsung memberi kabar bahwa dia sudah siap kencan dan memberitahu aku untuk segera menjemputnya. Tak ayal hatiku senang bukan kepalang. Tanpa membuang waktu lagi aku langsung segera sholat ashar dan langsung ganti baju lalu segera menjemput dia untuk pergi kencan.

Aku langsung menggeber motorku yang baru dicuci pagi tadi dan tak sabar untuk menemuinya. Lalu aku melihat si dia dari kejauhan dan tersenyum kepadaku. Ketika aku sampai dan berhenti di sampingnya dia segera mencium tanganku. Dia sungguh menawan dengan baju dan kerudung berwarna birunya dan setelan celana jeans. Benar-benar menyejukkan hatiku. Segeralah kami berangkat kencan. Aku Segera balik arah, lihat kanan- kiri, depan-belakang agar memastikan jalanan bebas kendaraan untuk menyeberang.

Begitu aku lihat meteran tangki bensin ternyata menunjukkan huruf E yang artinya entek (dalam bahasa jawa artinya habis). Khawatir bensin akan habis di jalan, aku segera menghentikan motorku di depan kios bensin. Eh, si dia malah berujar padaku bahwa dia mengenal orang yang sedang duduk di sebelah kios bensin itu. Ternyata orang yang dimaksud ternyata teman akrab ayah pacarku. Dan aku masih belum mengerti kenapa pacarku ini begitu khawatir dengan orang itu. Mungkin dia khawatir orang itu akan mengadukan kami pada ayahnya. Secara kami belum pernah dan tidak akan di beri izin untuk kencan keluar rumahnya. Karena itu setelah selesai isi bensin segera saja aku tancap gas untuk menghindari orang itu mengidentifikasi kami. Wuuussh...!! kami langsung melesat.

Kami berencana jalan-jalan ke Lumajang. Namun kami mengambil arah yang tidak biasanya. Karena jalan utama dari rumah kami ke Lumajang rusak parah gara-gara sering dilewati truk pasir maka kami terpaksa lewatjalan alternatif. Walau harus berputar jauh, namun tetap lebih baik karena bebas polusi dan jalannya cukup mulus sehingga kami bisa sampai di Lumajang dengan aman dan lebih cepat.

Setelah naik motor cukup lama, kami behenti di sebuah SPBU. Pacarku ternyata belum sholat ashar dan dia memintaku mencari musholla, ya aku berhenti saja di SPBU. Ternyata menunggu cewek sholat lama juga ya, karena masih masih harus lepas kerudung ketika berwudhu, lalu dipakai lagi saat keluar tempat wudhu. Kemudian masih pakai mukena untuk sholat. Setelah selesai sholat, eh masih merapikan kerudung lagi. Tapi enggak apa-apa dech, demi dia. Sekalian ngisi bensin lagi sampai full tank. 

Kami langsung menuju ke stadion gelora semeru yang biasanya ramai oleh anak-anak muda seperti kami sedang berkumpul sekedar nongkrong dan aktifitas berolahraga. Eh ternyata tempatnya sepi. Mungkin karena baru saja diguyur hujan, jadi orang-orang jadi males keluar. Hanya terlihat beberapa anak-anak muda yang sedang nogkrong di sekitar sana. Terdapat pula warung atau kios yang menjual beraneka macam makanan. Kami memutuskan untuk membeli salah satunya, yaitu makanan bernama cimol. Makanan ringan yang terbuat dari tepung yang digoreng dan ditaburi bumbu pedas dan gurih ini ramai diburu pembeli.

Kami mencari tempat untuk duduk dan menyantap cimol yang baru saja kami beli. Sambil makan, kami ngobrol sana-sini ngelantur enggak jelas sekedar menghabiskan waktu sambil menunggu waktu maghrib tiba. Obrolan kami sangat seru dengan diselingi tawa dan canda khas yang sering kami lakukan berdua saat kencan. Sampai-sampai tidak terasa jam sudah menunjuk angka 5.40 petang. Kami segera beranjak ke masjid yang berada di barat alun-alun Lumajang untuk sholat maghrib.

Setelah sholat kami langsung menuju warung makanan yang berada di sepanjang jalan depan taman makam pahlawan Lumajang. Di sana adalah tempat nonkrong para anak muda minum kopi atau sedang cari makan. Ada juga para pekerja muda yang mampir ke sana. Tempatnya cukup ramai dan mneyenangkan. Kami memesan 2 nasi goreng + telor ceplok, 1 es capuccino, dan 1 es joshua.

Aku makan nasi goreng dengan lahapnya, sementara si dia hanya makan sedikit sambil menahan rasa sakit di perut. Maklum lah, si dia bilang itu tanda-tanda kalau mau menstruasi lagi dalam waktu dekat. Mungkin itu juga yang membuat dia tidak selera makan. Nasi gorengnya hanya habis sepertiganya. Padahal nasi goreng yang aku makan udah lama habis duluan. Ya terpaksa aku harus menghabiskan sisa nasi gorengnya biar enggak mubadzir.

Jam menunjukkan 7.45 malam dan saatnya kami melanjutkan sisa waktu kencan yang kami miliki ke tujuan berikutnya, yaitu alun-alun Lumajang. Sebelum kesana kami berdua berhenti di sebuah supermarket untuk membeli es krim untuk kita makan berdua. Hhmm, benar-benar ide yang romantis. Setelah itu kami langsung ke alun-alun Lumajang dan mencari tempat duduk untuk memakan es krim yang kami beli.

Sepanjang mata memandang ke kiri dan ke kanan, ternyata cukup banyak pasangan muda-mudi yang berkencan di alun-alun juga. Waaww, jadi kencan rame-rame nech. Tapi masing-masing pasangan sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dan kami sibuk memakan es krim yang kami beli. Mungkin jika terdapat iringan piano dan biola akan lebih mirip seperti adegan di sinetron percintaan. Saat ada noda es krim di bibirnya, aku mengusapnya dengan tisu. Kemudian mata kami saling memandang. Hhmm, sungguh malam yang romantis dan menyenangkan.

Tanpa terasa waktu menunjukkan jam 8.30 malam, dan saatnya kami pulang. Di sepanjang perjalanan pulang, tangannya memeluk erat padaku. Selain karena kedinginan, tentu saja si dia memberikan kesan bahwa dia sangat mencintaiku. Setibanya di depan tempat peraduan, kembali pacarku mencium tangan kananku dan mengucapkan salam. Tapi dari sorot matanya seakan mengatakan jangan pergi dulu dan tak mau berpisah. Namun aku berbahagia setelah dia melemparkan senyuman manis tanda cintanya padaku.

Untuk mengabadikannya, maka aku tuliskan kisah kencan kami hari ini di blog punyaku ini.

"Sayangku, aku juga mencintaimu." Selamat malam cintaku... :-)


Sabtu, 04 Januari 2014

BECAK VS FERARRI

Manakah dari dua kendaraan tersebut di atas yang akan melaju paling kencang jika diadu dalam suatu balapan? Pertanyaan bodoh ini pasti akan sangat mudah terjawab, bahkan oleh anak TK sekalipun. Tentu semua orang dengan mudah pasti menjawab Ferarri yang akan melaju paling kencang jauh melampaui becak.

Mengapa Ferarri melaju paling kencang dibandingkan dengan becak?

Pertanyaan bodoh yang kedua juga akan mudah terjawab, bahkan oleh tamatan SD sekalipun. Ferarri sudah menggunakan tenaga mesin modern berteknologi tinggi yang dihasilkan dengan ilmu fisika, teknik otomotif, ilmu matematika, dan berbagai disiplin ilmu yang lain sehingga mampu melaju lebih kencang. Sedangkan becak masih menggunakan teknologi fisika kuno yaitu prinsip pesawat sederhana dengan menggunakan katrol. Tenaganya diperoleh dari kekuatan otot betis Si Tukang Becak. Berbeda jauh dari mobil Ferarri.

Mana yang ingin Anda miliki antara Becak dan Ferarri?

Pertanyaan terbodoh yang bisa ditanyakan pada orang gila adalah disuruh memilih Becak dan Ferarri. Tentu saja Anda akan memilih Ferarri daripada Becak. Mungkin beberapa dari Anda akan menjawab Becak sebagai pilihan. Ya... saya khawatir akan hal itu. Jika becak yang menjadi pilihan Anda, segera hubungi psikiater. Mungkin ada masalah dengan kesehatan otak Anda.

Baiklah, bagaimana jika tajuk diatas kita ganti dengan PARADIGMA LAMA VS PARADIGMA BARU.

Manakah dari dua paradigma diatas yang lebih baik bagi Anda?
Mengapa paradigma yang Anda pilih lebih baik dari paradigma yang lain?
Mana yang benar-benar Anda terapkan dalam kehidupan Anda? Paradigma lama atau paradigma baru?

Mungkin jawaban Anda akan berbeda dengan orang yang lain. Dan mungkin juga Anda sendiri belum tahu sebenarnya maksud dari pertanyaan itu dan Anda tidak memilih keduanya. Oke... akan saya beri penjelasan maksud saya.

Saya akan ambil contoh dari dunia pendidikan kita. Saya mengamati bahwa paradigma pendidikan masa kini masih tetap tidak berubah sejak zaman setelah kemerdekaan Indonesia. Sementara itu zaman terus mengalami perubahan terus menerus. Mungkin dulu orang tua Anda mengatakan, "Pergilah ke sekolah, belajarlah dengan baik dan berprestasi, setelah lulus kuliah, carilah pekerjaan yang mapan dan bergaji tinggi." Orang tua saya juga termasuk orang yang menyarankan hal itu pada saya.

Teman saya semasa sekolah yang pintar dan selalu juara kelas telah memenuhi keinginan orang tua mereka. Ada yang jadi dokter, arsitek, polisi, tentara, karyawan perusahaan besar yang bergaji tinggi, bahkan PNS. Sementara itu teman saya yang di masa sekolah adalah anak yang nakal dan bodoh mempunyai usaha warnet. Dan yang mengherankan pada saat kami semua mengadakan reuni, Si Bodoh pada masa sekolah datang dengan membawa sedan. Sementara Si Pintar datang dengan menggunakan motor bebek.

Saya terkejut dan bingung, bagaimana teman saya yang urakan, nakal dan juga bodoh dalam pelajaran di kelas, sekarang bisa hidup lebih kaya daripada teman saya yang pintar di dalam kelas. Apa ada yang salah dengan paradigma yang berbunyi "Pergilah ke sekolah, belajarlah dengan baik dan berprestasi, setelah lulus kuliah, carilah pekerjaan yang mapan dan bergaji tinggi."?

Saya yakinkan pada Anda bahwa tidak ada yang salah dengan paradigma itu. Paradigma itu benar pada zamannya, yaitu pada saat setelah kemerdekaan. Indonesia yang baru merdeka butuh banyak tenaga kerja untuk membangun negeri yang hancur pasca perang. Orang bisa dengan mudah hidup dalam kemewahan hanya dengan bersekolah tinggi dan mendapatkan kerja bergaji tinggi. Banyak orang kaya baru bermunculan.

Ya... Anda dapat memakai paradigma tersebut pada zamannya. Tapi sayang sekali, zaman tidak statis. Zaman terus berubah, dan Anda sudah tidak dapat mengandalkan paradigma "Pergilah ke sekolah, belajarlah dengan baik dan berprestasi, setelah lulus kuliah, carilah pekerjaan yang mapan dan bergaji tinggi." Paradigma itu sudah usang dan kuno. Sungguh mengenaskan sekali, justru orang tua kita mengajarkan apa yang mereka pelajari semasa kecilnya, yaitu "Pergilah ke sekolah, belajarlah dengan baik dan berprestasi, setelah lulus kuliah, carilah pekerjaan yang mapan dan bergaji tinggi."

Kita memerlukan sesuatu yang baru untuk dipelajari. Saya tidak hendak mengatakan bahwa sistem sekolah kita saat ini tidak baik bagi anak-anak sekarang. Tapi kita perlu menambahkan pendidikan yang lain supaya bisa melengkapi sistem pendidikan kita saat ini sehingga bisa diterapkan untuk menghadapi hidup di zaman sekarang.

Tapi sayangnya, orang yang pintar atau seorang ahli dalam suatu bidang cenderung tidak mau menerima ide-ide baru atau paradigma baru. Otak mereka suka beralasan dan sangat konservatif terhadap hal-hal baru.

Mereka mengatakan bahwa untuk sukses harus diraih dengan bersekolah yang tinggi, mendapatkan gelar, lalu mencari pekerjaan bergaji tinggi. Setelah itu ketika mereka menemukan pasangan mereka menikah, dan karena dua-duanya bekerja mereka merasa cukup dapat penghasilan. Untuk itu mereka memberanikan diri untuk mencicil rumah.

Kemudian datang lah kabar gembira bahwa yang perempuan hamil. Untuk itu yang lelaki bekerja lebih keras lagi untuk menyambut kehadiran sang bayi. Begitu bayi lahir dan bayi berikutnya lahir, keduanya termotivasi untuk mengejar uang lebih keras lagi.

Waktu berlalu dan mereka berdua dipromosikan dan naik gaji. Ketika bertambah bayi berikutnya akhirnya yang laki-laki meminta sang istri berhenti bekerja untuk merawat anak. Dan sang suami bekerja lebih keras lagi sampai akhinya dipromosikan dan naik gaji lagi. Dan kerena gaji cukup besar maka beranilah mulai menyicil mobil.

Seiring anak-anaknya bertambah besar, rumah yang kecil tadi semakin penuh sesak dan begitu gaji besar maka mulai menyicil rumah yang lebih besar. Dan ketika anak-anak mulai besar maka mulai menyicil mobil berikutnya. Dan ketika karir melonjak lebih bagus lagi karena di angkat menjadi direktur maka mulailah menyicil rumah mewah dan ada kolam renangnya. Terus dan menerus sampai akhirnya mereka mati meninggalkan hutang. Mereka seumur hidup menjadi budak uang.

Sedangkan orang kaya yang sebenarnya, mereka begitu lulus atau bahkan sebelum lulus mereka bekerja untuk mendapatkan pengetahuan, uang dan kenalan dimana akhirnya uang bekerja untuk mereka. Mereka menunda kesenangan, mengumpulkan uang, pengetahuan, dan kenalan kemudian mereka menginvestasikan ketiganya tadi sehingga uang bekerja untuk mereka dengan atau tanpa berkerja.

Jadi kesimpulannya, dibutuhkan lebih dari sekedar gelar akademis untuk bisa bebas secara keuangan. Kita juga butuh kecerdasan finansial. Apa itu kecerdasan finansial? Saya tidak akan menyampaikan secara detail mengenai hal itu. Anda bisa membacanya sendiri pada bukunya Robert T. Kiyosaki berjudul "Rich Dad Poor Dad."

Semoga tulisan ini menginspirasi Anda. Amiiin.


KUNJUNGI LINK BERIKUT:

JUAL BATIK SARIMBIT GAMIS MURAH

Bagian 2

KUNJUNGI HALAMAN FACEBOOK KAMI
UNTUK MELIHAT KATALOG LENGKAP

SUKAI HALAMAN FACEBOOK